Rabu, 25 April 2018

MAKALAH : KEWARGANEGARAAN LENGKAP

   KEWARGANEGARAAN
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan
  Dosen Ridwan Eko, S.H.I., M.H


ichlasulamin@gmail.com






Disusun oleh:
Kelompok 2 / Semester II / Kelas A
Fauziah Khairunnisa                                   NIM 1179210029
Fuzi Kusuma Pertiwi                                 NIM 1179210030
Hasni Hasanah                                            NIM 1179210035
Ichlasul Amin                                             NIM 1179210036
Ifa Faidah                                                   NIM 1179210037
Fauzan Mugni Alfazza                               NIM 1179210097




JURUSAN AKUNTANSI SYARIAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena hanya atas rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Kewarganegaraan” sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Pendidikan dan Kewarganegaraan.
Dengan selesainya penulisan makalah ini penulis sangat berbahagia sebab hal ini merupakan wujud nyata dari lamanya hasil diskusi kelompok dan memberi manfaat yang besar dalam penulisan ilmiah bagi peneliti, juga berharap mudah-mudahan dapat membantu semua pihak dalam memecahkan permasalahan yang terjadi di lapangan, walaupun penulis sangat menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu segala masukan dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah penulis menerima dengan senang hati.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebsar-besarnya kepda semua pihak yang telah membantu terselesaikannya penulisan skripsi ini, baik bantuan moril maupun materil kepada Ridwan Eko Prasetyo, S.H.I.,M.H. sebagai dosen pada mata kuliah ini.
Atas segala bantuan dan bimbingannya, semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan balasan yang setimpal atas segala amal dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis.




Penulis,




                                                                                                                                       


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................................ ii
ABSTRAK............................................................................................................................... iii
1.      PENDAHULUAN
1.1.   Latar Belakang Masalah.............................................................................................. 1
1.2.   Rumusan Masalah........................................................................................................ 1
1.3.   Tujuan Penulisan.......................................................................................................... 1
1.4.   Manfaat Penulisan....................................................................................................... 2
1.5.   Metode Penulisan........................................................................................................ 2
2.      PEMBAHASAN
2.1.   Pengertian Kewarganegaraan...................................................................................... 2
2.2.   Azas-Azas Kewarganegaraan...................................................................................... 3
2.2.1. Ius Sanguinis dan Ius Soli................................................................................. 3
2.2.2. Bipatride dan Apatride...................................................................................... 9
      2.3. Cara Memperoleh Kewarganegaraan Indonesia.......................................................... 12
      2.4. Hak dan kewajiban Warga Negara Indonesia............................................................. 15
      2.5. Dinamika Undang-undang Kewarganegaraan RI....................................................... 16
3.      PENUTUP
3.1.   Kesimpulan.................................................................................................................. 22
3.2.   Kritik dan Saran.......................................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................. 23






ABSTRAK
Kewarganegaraan yakni anggota dari sebuah komunitas yang membentuk negara itu sendiri dan memiliki kewajiban dan hak yang harus dipenuhi.Dengan kajian studi pustaka tentang Bagaimana mendapatkan kewarganegaraan di Indonesia dengan azas-azas Ius Soli dan Ius Sanguinis untuk menangani dan menekan jumlah apatride (Tidak memiliki kewarganegaraan) dan Bipatride (Dua kewarganegaraan) di Indonesia dengan adanya Undang-Undang No.62 tahun 1958.
Kata Kunci: Azas, Ius Soli, Ius Sanguinis, apatride, bipatride















I. PENDAHULUAN
1.1     Latar Belakang
Sebagai warga Negara dan masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama, Yang pokok adalah bahwa setiap orang haruslah terjamin haknya untuk mendapatkan status kewarganegaraan, sehingga terhindar dari kemungkinan menjadi ‘stateless’ atau tidak berkewarganegaraan. Tetapi pada saat yang bersamaan, setiap negara tidak boleh membiarkan seseorang memilki dua status kewarganegaraan sekaligus. Itulah sebabnya diperlukan perjanjian kewarganegaraan antara negara-negara modern untuk menghindari status dwi-kewarganegaraan tersebut. Indonesia sebagai negara yang pada dasarnya menganut prinsip ‘ius sanguinis’, mengatur kemungkinan warganya untuk mendapatkan status kewarganegaraan melalui prinsip kelahiran.

1.2  Rumusan masalah
Dari latar belakang diatas disusun rumusan masalah sebagai berikut.
1.2.1 Pengertian Kewarganegaraan
1.2.2 Asas-asas Kewarganegaraan
1.2.3 Cara Memperoleh Kewarganegaraan
1.2.4 Hak dan kewajiban Warga Negara Indonesia
1.2.5 Dinamika Undang-undang Kewarganegaraan RI

1.3 Tujuan penulisan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah
1.3.1 Untuk memaparkan Pengertian Kewarganegaraan
1.3.2 Untuk menjelaskan Asas-asas Kewarganegaraan
1.3.3 Untuk memaparkan Cara Memperoleh Kewarganegaraan
1.3.4 Untuk menjelaskan Hak dan kewajiban Warga Negara Indonesia
1.3.5 Untuk memaparkan Dinamika Undang-undang Kewarganegaraan RI

1.4 Manfaat penulisan
                 Adapun manfaat dari penelitian ini adalah
1.4.1 Agar pembaca dapat mengetahui tentang Kewarganegaraan.
1.4.2 Agar pembaca dapat mengetahui Asas-asas Kewarganegaraan
1.4.3 Agar pembaca dapat mengetahui Cara Memperoleh Kewarganegaraan
1.4.4 Agar pembaca mengerti Hak dan Kewajiban WNI.
1.4.5 Agar pembaca mengerti Dinamika Undang-undang Kewarganegaraan RI

       1.5 Metode Penulisan
                        Adapun metode yang digunakan dalam pembuatan makalah ini adalah dengan studi pustaka.

2. PEMBAHASAN
2.1  Pengertian Kewarganegaraan
Secara bahasa kewarganegaraan berarti hal yang berhubungan dengan warga negara, atau keanggotaan sebagai warga negara. Sementara secara istilah kewarganegaraan berasal dari kata warga negara. Disini warga negara banyak diartikan sebagai penduduk sebuah negara atau bangsa bersdasarkan keturunan, tempat kelahiran, dan sebagainya yang mempunyai kewajiban dan hak penuh sebagai warga dari negara itu. Selain itu warga negara diartikan sebagai orang-orang yang merupakan bagian dari suatu penduduk yang menjadi unsur negara. Istlah ini dahulu biasa disebut hamba atau kaula negara.[1]
Senada dengan definisi itu, AS Hikam sebagaimana dikutip Tim ICCE UIN Jakarta mengartikan warga negara sebagai terjemahan dari citizenship, yakni anggota dari sebuah komunitas yang membentuk negara itu sendiri. Sedangkan secara singkat lagi Koerniatmanto S., mendefinisikan warga negara dengan anggota negara, seorang warga negara mempunyai kedudukan yang khusus terhadap negaranya. Ia mempunyai hubungan hak dan kewajiban yang bersifat imbal balik terhadap negaranya.[2]
Untuk konteks indonesia istilah warga negara dalam UUD1945 pasal 26 ditujukan pada seluruh bangsa Indonesia asli dan bangsa lain yang disahkan undang-undang sebagai warga negara. Ditambahkan lagi sesuai dengan UU No 62 tahun 1958 pasal 1 bahwa warga negara Indonesia adalah orang-orang yang berdasarkan perundang-undangan dan/atau perjanjian-perjanjian dan/atau peraturan-peraturan yang berlaku sejak proklamasi 17 Agustus 1945 sudah menjadi warga nssegara Indonesia.[3]

2.2  Asas-asas Kewarganegaraan
2.2.1  Ius Sanguinis dan Ius Soli
Sebagaimana dijelaskan di muka bahwa warga negara merupakan aggota sebuah negara yang mempunai tanggung jawab dan hubungan timbal balik terhadap negaranya. Seseorang yang diakui sebagai warga yang telah disepakati dalam negara tersebut. Ketentuan itu menjadi asas atau pedoman untuk menentukan status kewarganegaraan seseorang.
Dalam menetapkan asas kewarganegaraan ini dilihat dari dua pedoman yakni: 1. Dari sisi kelahiran yang berisi dua asas kewarganegaraan yaitu asas ius soli dan ius sanguinis.[4] Kedua istilah tersebut berasal dari bahasa Latin ius berarti hukum,dalil atau pedoman, soli berasal dari kata solum yang berarti negeri, tanah atau darah dan sanguinis berasal dari kata sanguis yang berarti darah. Dengan demukian, ius soli perarti pedoman kewarganegaraan berdasarkan tempat atau daerah kelahiran, sedangkan ius sanguinis adalah pedoman kewarganegaraan berdasarkan darah atau keturunan.
 Sebagai contoh, jika sebuah negara menganut asas Ius Soli maka seseorang yang dilahirkan di negara tersebut, mendapatkan hak sebagai warga nenegara. Begitu pula dengan asas Ius Sanguinis. Jika sebuah negara menganut asas Ius Sanguinis, maka seseorang yang lahir dari orang tua yang memiliki kewarganegaraan suatu negara, Indonesia misalnya, maka anak tersebut berhak mendapatkan status kewarganegaraan orang tuanya, yakni warga negara Indonesia.
Pada awalnya asas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran ini hanya satu, yakni ius soli saja. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa karena seseorang lahir di suatu wilayah negara, maka otomatis dan logis yang menjadi warga negara tersebut. Akan tetapi dengan semakin Tingginya tingkat mobilitas manusia, diperlukan suatu asas lain yang tidak hanya berpatokan pada tempat kelahiran saja.  Selain itu, kebutuhan terhadap asas lain ini juga berdasarkan realitas empirik bahwa ada orang tua yang memiliki status kewarganegaraan yang berbeda. Hal ini akan bermasalah jika kemudian orang tua tersebut melahirkan anak di tempat salah satu orang tuanya ( misalnya di tempat ibunya). Jika tetap menganut asas , Maka si anak hanya akan mendapatkan status kewarganegaraan ibunya saja, sementara ia tidak berhak atas status kewarganegaraan bapaknya. Atas dasar itulah, maka asas Ius Sanguinis dimunculkan, sehingga si anak dapat memiliki status kewarganegaraan bapaknya.[5]
Dari sisi perkawinan berisi asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajat. Selain hukum kewarganegaraan dilihat dari sudut kelahiran, kewarganegaraan seseorang juga dapat dilihat dari sisi perkawinan yang mencakup asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajat. Asas Kesatuan Hukum berdasarkan pada paradigma bahwa suami-istri ataupun ikatan keluarga merupakan inti masyarakat yang meniscayakan suasana sejahtera, sehat dan tidak terpecah. Dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakatnya, suami-istri ataupun keluarga yang baik perlu mencerminkan adanya suatu kesatuan yang bulat.
Untuk menghentikan terciptanya kesatuan dalam keluarga atau suami-istri, maka semuanya harus tunduk pada hukum yang sama. Dengan adanya kesamaan pemahaman dan komitmen menjalankan kebersamaan atas dasar hukum yang sama tersebut, meniscayakan adanya kewarganegaraan yang sama, sehingga masing-masing tidak terdapat perbedaan yang dapat mengganggu kebutuhan dan kesejahteraan keluarga.
Sedangkan dalam asas persamaan derajat ditentukan bahwa suatu perkawinan tidak menyebabkan perubahan status kewarganegaraan masing-masing pihak. Baik suami ataupun istri tetap berkewarganegaraan  asal, atau dengan kata lain sekalipun sudah menjadi suami istri, mereka tetap memiliki status kewarganegaraan sendiri, Sama halnya ketika mereka belum diikatkan menjadi suami istri.
Asas ini dapat menghindari terjadinya penyelundupan hukum. Misalnya, Seseorang yang berkewarganegaraan asing ingin memperoleh status kewarganegaraan suatu negara dengan cara atau pura-pura melakukan pernikahan dengan perempuan di negara tersebut. Setelah melalui perkawinan dan orang tersebut memperoleh kewarganegaraan yang diinginkannya, maka selanjutnya ia menceraikan istrinya. Untuk menghindari penyelundupan hukum semacam ini, banyak negara yang menggunakan asas persamaan derajat dalam peraturan kewarganegaraannya.[6]
Selain hal di atas, negara ini kita juga mengenal istilah “empat status warga negara”, yakni (1) Status positif : warga negara yang memperoleh fasilitas dan jaminan untuk mendapatkan kemakmuran dari negara;(2) Status negatif : negara tidak akan mencampuri hak asasi rakyatnya bila tidak perlu; (3) status aktif : warga negara ikut dalam pemerintahan negara; dan (4) Status pasif : tundukketentuan ketentuan negara.[7]
Sudah menjadi pendapat umum, bahwa untuk berdirinya suatu negara yang merdeka harus dipenuhi beberapa syarat, yaitu harus ada wilayah tertentu, ada rakyat yang tetap dan pemerintahan yang berdaulat. Ketiga syarat ini merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Tanpa adanya wilayah tertentu adalah tidak mungkin untuk mendirikan suatu negara dan begitu pula adalah mustahil untuk menyebutkan adanya suatu negara tanpa rakyat yang tetap. Walaupun kedua syariat ini wilayah dan rakyat telah dipenuhi, namun apabila pemerintahannya bukan pemerintahan yang berdaulat yang bersifat nasional, belumlah dapat dinamakan negara itu negara yang merdeka. Hindia Belanda dan rakyat – tetapi karena pemerintahan Hindia Belanda adalah pemerintahan jajahan yang tunduk kepada Pemerintahan di Negeri Belanda, maka Hindia Belanda bukanlah negara yang merdeka
Rakyat yang menetap di suatu wilayah tertentu, dalam hubungannya dengan negara disebut warga negara. Warga negara itu mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap Negara, dan sekaligus juga mempunyai hak-hak yang wajib diberikan dan dilindungi oleh negara
Kareana hubungannya dengan dunia Internasional, maka dalam setiap wilayah negara selalu ada warga negara dan orang asing, yang kesemuanya disebut penduduk. Jadi setiap warga negara adalah penduduk adalah warga negara, karena mungkin dia adalah orang asing. Kalau demikian maka penduduk suatu negara dapat dibagi dua yaitu warga negara dan orang asing. Keduanya berbeda dalam hubungannya dengan negara. Setiap warga negara mempunyai hubungan yang tidak terputus, walaupun warga negara yang bersangkutan telah berdomisili di luar negri, selama dia tidak memutuskan kewarganegaraanya. Sebaliknya seorang asing hanya mempunyai hubungan selaam dia bertempat tinggal di wilayah negara tersebut. Karena itu adalah menjadi kewajiban dari Negara untuk melindungi kepentingan setiap penduduk di negaranya.
Undang-undang Dasar 1945 sendiri ada kalanya memberikan perlindungan kepada penduduk Negara Republik Indonesia tanpa melihat apakah dia warga negara atau orang asing. Umpamanya dalam pasal 29 ayat (2) disebutkan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masng-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Ini berarti bahwa negara akan memberikan perlindungan dalam masalah agama terhadap setiap orang yang ada di wilayah Negara Republik Indonesia denga tidak melihat apakah dia warga negara atau orang asing. Di bagian lain Undang-Undang Dasar 1945 hanya menyebutkan hak khusus untuk warga negara, yaitu pasal 27 ayat (2) yang menyebutkan “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Ini berarti bahwa setiap warga negaralah yang berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan tidak untuk orang asing hak mana kemudian dapat dituntut oleh warga negara.
Di muka telah di jelaskan, bahwa tanpa adanya warga negara adalah tidak mungin mendirikan suatu negara. Dan karena itu adalah negara yang berdaulat, maka setiap negara berhak untuk menentukan sendiri syarat-syarat untuk menjadi warga negara. Namun demikian dalam ilmu pengetahuan terdapat dua azas yang utama, yaitu azas ius soli dan azas ius sangiunis.[8]
Yang dimaksud dengan ius soli (azas daerah kelahiran) ialah, bahwa kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh tempat kelahirannya. Seseorang adalah warga negara dari Negara B, karena dia dilahirkan di negara B tersebut. Dan azas sanguinis (azas keturunan) menentukan, bahwa kewarganegaraan seseorang ditentukan olhe keturunan dari orang yang bersangkutan. Seseorang adalah warga negara A, karena orang tuanya adalah warga negara A.
Pada saaat sekarang di mana hubungan antar negara telah semakin baik, dan sarana pengangkutan sudah sedemikian modernnya sehingga tidak menyulitkan orang untuk bepergian, maka dapat saja terjadi bahwa seseorang akan dapat berdomisili di negara lain. Kadang kala orang tersebut melahirakan anak di negara tempat dia berdomisili. Dan kalau azas ius soli yang dipakai, maka akibatnya anak tersebut menjadi warga negara dari negara tersbeut, dan dengan demikian putuslah hubungannya dengan negara asal orang tuanya. Karena alasan-alasan ini maka pada umumnya negara-negara sekarang telah meninggalkan azus ius soli dan menganut azas sanguinis. [9]
Penganutan azas ius sanguini ini akan terasa sekali manfaatnya bagi negara-negara yang terletak berdampingan dengan negara lain yang tidak dibatasi oleh laut seperti neraga Eropah Kontinental, dimana setiap orang dengan mudah berpindah tempat tinggal. Dan dengan azas sanguinis ini anak-anak yang dlahirkan di negara lain akan tetap menajdi warga negara dari negara asal orang tuanya, dan akibbatnya tidak akan terputus hubungan antara negara dan warga negaranya yang baru lahir selama orang tuanya masih tetap menganut kewarganegaraan dari negara asalnya. Sebaliknya bagi negara-negara tertentu, terutama negara-negara imigrasi seperti Amerika Serikat, Australia,  Canada, untuk tahap pertama akan lebih menguntungkan apabila menganut azas ius soli, sebab akan lahirnya anak-anak dari para imigran di negara-negara tersbeut akan menjadi putuslah hubungannya dengan negara asal orang tuanya.[10]
2.2.2 Bipatride dan Apatride
Di muka telah dijelaskan bahwa setiap negara berhak untuk menentukan azas mana yang dipakai dalam menentukan siapakah yang termasuk warganegaranya, maka akan timbul peraturan-peraturan di bidang kewarganegaraan yang tidak sama. Dan menurut istilah dari Prof. Gouw Giok Siong seolah-olah terjadi "pertentangan"[11]  sebab kemungkinan terjadi bahwa negara A menganut asas ius soli sedangkan negara B yang menganut azas ius sanguinis, atau sebaliknya. Hal tersebut akan menimbulkan bipatride (dwi kewarganegaraan) atau apatride (tanpa kewarnegaraan) apabila terjadi pengimigrasian timbul apabila menurut peraturan peraturan tentang kewarganegaraan dari berbagai negara seseorang dianggap sebagai warga negara oleh negara-negara yang bersangkutan.[12] Umpamanya A dan B adalah suami istri yang berkewarganegaraan X dan menganut asas Ius Soli. Kemudian lahirlah C menganut negara C. C adalah negaranya, sebab orang tuanya A dan B adalah warga negara X. Menurut negara Z.  C adalah warga negaranya, sebab C lahir di wilayahnya.  Dengan demikian C mempunyai 2 kewarganegaraan atau bipatride (dwi kewarganegaraan). Sebaliknya apatride (tanpa kewarganegaraan) timbul karena menurut peraturan peraturan tentang kewarganegaraan, seseorang tidak dianggap sebagai warga Negara. Keadaan ini dapat dijelaskan dengan contoh sebagai berikut : A dan B suami istri adalah warga negara X yang menganut asas Ius Soli.  A dan B berdomisili di Z yang menganut azas ius sangunis.  Tidak lama kemudian A dan B melahirkan anak C.  Menurut negara X.  C bukanlah warga negaranya sebab orang tuanya C bukan berkewarganegaraan Z. Akibatnya C tidak mempunyai kewarganegaraan atau apatride.
Baik bipatride maupun apatride adalah keadaan yang tidak disenangi oleh negara Di mana orang tersebut berada, bahkan bagi yang bersangkutan. Keadaan bipatride membawa ketidakpastian dalam status seseorang, sehingga dapat saja merugikan negara tertentu. Sebaliknya keadaan apatride membawa akibat bahwa orang tersebut tidak akan mendapat perlindungan dari negara manapun juga. Kedua-duanya pernah dialami oleh Republik Indonesia. Sebelum sebelum ditandatanganinya perjanjian antara Soenarto Chow akan dibahas di bagian lain, maka sebagian dari orang-orang Cina yang berdomisili di Indonesia menurut peraturan kewarganegaraan dari Republik Rakyat Cina yang berasaskan Ius Sanguinis, tetap dianggap sebagai warga negara Republik Rakyat Cina, sebaliknya menurut undang-undang kewarganegaraan Indonesia. Pada waktu itu orang Cina tersebut sudah dianggap menjadi warga negara Indonesia dengan demikian terjadilah bipatride terhadap orang Cina yang bersangkutan. Sebaliknya ada pula sebagian orang Cina yang dianggap Pro Koumintang, oleh Republik Rakyat Cina yang tidak diakui sebagai warga negaranya, sedangkan Taiwan yang dianggap negara asalnya tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan Indonesia, maka mereka juga tidak diakui sebagai warga negara Taiwan. Mereka ini setidak-tidaknya merupakan "defacto apatride". [13]
Baik bipatride maupun apatride tersebut harus dihindarkan dan caranya ialah dengan menutup kemungkinan terjadinya bipatride dan apatride dalam undang-undang tentang kewarganegaraan. Umpamanya untuk mencegah bipatride undang-undang No. 62 tahun 1958 pasal 7 menentukan bahwa seorang perempuan asing yang kawin dengan laki-laki warga negara Indonesia dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia dengan melakukan pernyataan, dengan syarat bahwa dia harus meninggalkan kewarganegaraannya  asalnya. Demikian pula untuk mencegah kemungkinan terjadinya apatride. Undang-undang tersebut dalam pasal 1 huruf f menentukan, bahwa anak yang lahir di wilayah Republik Indonesia selama kedua orang tuanya tidak diketahui, adalah warga negara Indonesia. seandainya tidak ada ketentuan ini, maka akibatnya anak tersebut kelak akan menjadi apatride sebab tidak diketahui orang tuanya dan untuk menentukan kewarganegaraannya adalah sulit. Dengan dua orang contoh di muka jelaslah bahwa setiap undang-undang tentang kewarganegaraan dapat mencegah timbulnya keadaan bipatride dan apatride.
Persoalannya sekarang bagaimana kalau bipatride telah terjadi sementara undang-undang yang berlaku pada waktu itu tidak dapat memecahkan. Keadaan ini pernah terjadi di Republik Indonesia sebelum tahun 1955, dimana pada waktu itu orang-orang Cina karena peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat itu dapat dianggap sebagai warga negara Republik Indonesia, sedangkan dalam keadaan yang bersamaan Republik Rakyat Cina tetap pula beranggapan bahwa orang-orang Cina tersebut adalah warga negaranya. Pemecahan masalah ini adalah tidak bisa lain daripada dengan membuka kemungkinan perundingan antara negara yang bersangkutan. Demikianlah pada tanggal 22 April 1955 telah ditandatangani masing-masing oleh menteri luar negeri Republik Indonesia dan Republik Rakyat Cina yang terkenal dengan perjanjian soenario-Chou, yang kemungkinan diundangkan dengan undang-undang No. 2 tahun 1958. Dalam perjanjian itu ditentukan bahwa kepada semua orang Cina yang ada di Indonesia harus mengadakan pilihan dengan tegas dan secara tertulis, apakah akan menjadi warga negara Republik Indonesia atau tetap berkewarganegaraan Republik Rakyat Cina. Dengan demikian terpecah lah masalah Dwi kewarganegaraan ini.

2.3  Cara Memperoleh Kewarganegaraan Indonesia
Di Indonesia proses mendapatkan status warga negara dijelaskan dalam Undang-Undang No.62 tahun 1958. Ada penjelasan umum dari UU ini disebutkan bahwa ada 7 (tujuh) cara memperoleh kewarganegaraan Indonesia: (1) karena kelahiran, (2) karena pengangkatan, (3) karena dikabulkannya permohonan, (4) karena pewarganegaraan, (5) karena perkawinan, (6) karena turut Ayah atau Ibu serta, (7) karena pernyataan.
Sementara itu bukti-bukti yang diperlukan untuk memperoleh kewarganegaraan Indonesia adalah (Berdasarkan UU No. 62 tahun 1958):
1.      Surat bukti kewarganegaraan untuk mereka yang memperoleh kewarganegaraan Indonesia karena kelahiran adalah dengan akte kelahiran.
2.      Surat bukti kewarganegaraan untuk mereka yang memperoleh kewarganegaraan Indonesia karena pengangkatan adalah kutipan pernyataannya buku catatan angkatan anak asing dari pencatatan Pemerintah No. 67/1958, sesuai dengan syarat edaran Menteri Kehakiman No. BJ 3/2/25,butir6, tanggal 5 Januari 1959.
3.      Surat bukti kewarganegaraan untuk mereka yang memperoleh kewarganegaraan Indonesia karena dikabulkannya permohonan adalah berisikan Keputusan Presiden tentang permohonan tersebut (tanpa pengucapan sumpah janji setia).
4.      Surat bukti kewarganegaraan untuk mereka yang memperoleh kewarganegaraan Indonesia karena pewarganegaraan adalah berisikan keputusan Presiden tentang pewarganegaraan tersebut yang diberikan setelah pemohon mengangkat sumpah dan janji setia tentang.
5.      Surat bukti kewarganegaraan untuk mereka yang memperoleh kewarganegaraan Indonesia karena pernyataan adalah sebagaimana diatur dalam surat edaran Menteri Kehakiman No.BJ 3/166/33, tanggal 30 September 1958 tentang Memperoleh/ Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia dengan pernyataan.

Bila menyimak uraian di atas, dapat dirumuskan bahwa umumnya ada dua kelompok warga negara dalam suatu negara, yakni warga negara yang memperoleh status kewarganegaraannya melalui stelsel aktif atau dikenal dengan by registration.
Dalam undang-undang No 12 tahun 2006, untuk memperoleh warga negara melalui proses pewarganegaraan atau naturalisasi, dapat ditempuh melalui syarat-syarat sebagai berikut.
a.       Telah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin;
b.      Pada waktu mengajukan permohonan sudah bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut;
c.       Sehat jasmani dan rohani;
d.      Dapat berbicara Indonesia serta mengakui dasar negara Pancasila dan UUD 1945;
e.       Tidak pernah dijatuhi pidana Karena melakukan tindakan pidana yang diancam dengan pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih;
f.       Jika dengan memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia tidak menjadi kewarganegaraan ganda;
g.      Mempunyai pekerjaan dan/atau berpenghasilan tetap; dan
h.      Membayar uang pewarganegaraan ke Kas Negara;
i.        Permohonan kewarganegaraan diajukan di Indonesia oleh permohonan secara tertulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas bermaterai cukup kepada Presiden melalui menteri;
j.        Berkas permohonan kewarganegaraan disampaikan kepada pejabat.[14]


2.4  Hak dan kewajiban Warga Negara Indonesia
Setelah seseorang memperoleh kewarganegaraan suatu negara otomatis orang tersebut menjadi warga negara. Ketika menjadi warga negara yang merupakan anggota negara yang mempunyai kedudukan khusus terhadap negaranya. Ia mempunyai hubungan hak dan kewajiban yang bersifat timbal balik terhadap negaranya. Oleh karena disini akan digambarkan tentang kedua nya itu.
Di Indonesia hak warga negara terhadap negaranya telah diatur dalam undang-undang 1945 dan berbagai pengaturan lainnya yang merupakan derivasi dari hak-hak umum yang digariskan dalam undang-undang 1945. Di antara hak-hak warga negara itu adalah hak asasi manusia yang dirumuskan lengkapnya dimuat dalam pasal 28 undang-undang 1945. Amandemen kedua :
1.           Hak kebebasan beragama dan beribadah sesuai dengan kepercayaannya.
2.           Bebas untuk berserikat dan berkumpul.
3.           Hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil.
4.           Hak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
5.           Hak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
6.           Hak atas status kewarganegaraan.

Sedangkan masalah kewajiban bagi setiap warga negara misalnya adalah:
1.        Membayar pajak sebagian kontrak utama antara negara dengan warga.
2.        Membela tanah air.
3.        Membela pertahanan dan keamanan negara.
4.        Menghormati hak asasi orang lain dan mematuhi pembatasan yang tertuang dalam peraturan.
2.5  Dinamika Undang-undang Kewarganegaraan RI
Pada tanggal 1 Agustus 2006, Undang-undang Nomor 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan Republik Indonesia telah ditetapkan secara bersama-sama oleh Pemerintahan dan DPR RI. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006, maka Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang kewarganegaraan RI sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 3 Tahun 1976 tentang perubahan pasal 18 Undang-Undang nomor 62 tahun 1958 tentang kewarganegaraan RI dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Selain itu, semua peraturan perundang-undangan sebelumnya yang mengatur mengenai kewarganegaraan, dinyatakan tidak berlaku karena tidak sesuai dengan prinsip yang diamanatkan dalam UUD Negara RI Tahun 1945.
Pernyataan tidak berlakunya undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang lahir sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006, Wicipto Setiadi (Direktur Harmonisasi Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM RI), dalam sebuah kesempatan mengatakan bahwa hal itu demi adanya kepastian hukum agar para pelaksana dan pihak yang berkepentingan tidak lagi mengacu pada peraturan perundang-undangan lama. Dengan demikian tidak ada keraguan-keraguan dalam menerapkan hukum di bidang kewarganegaraan.
Bila menyimak konsideran dari Undang-Undag Nomor 12 Tahun 2006, seridaknya ada tiga alasn mendasar terbitnya unadng-undang tersebut dengan sekaligus mencabut undang-undang Nomor 62 Tahun 1958, yaitu;
1.      Secara filosois, Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 masih mengandung ketentuan yang tidak sejalan dengan falsafah Pancasila, antara lain, karena bersifat diskriminatif, kurang menjamin pemenuhan hak asasi dan persamaan antarwarga negara, serta kurang memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak-anak.[15]
2.      Secara yuridis, landasan konstitusional pembentukan Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 adalah Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 yang sudah tidak berlaku sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945. Dalam perkembangannya, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga telah mengalami perubahan yang lebih menjamin perlindungan terhadap hak asasi manusia dan hak warga negara.
3.      Secara sosiologis, Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional dalam pergaulan global, yang menghendaki adanya persamaan perlakuan dan kedudukan warga negara di hadapan hukum serta adanya kesetaraan dan keadilan gender.

Secara substansi, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 ini banyak dipandang oleh berbagai kalangan jauh lebih renponsif dan demokratis dari pada Undang-Undang tersebut telah mengakomodasi berbagai pemikiran yang mengarah pada pemberian perlindungan warga negaranya dengan memperhatikan kesetaraan gender, tapi yang tidak kalah penting adalah pemberian perlindungan terhadap anak-anak hasil perkawinan campuran antara warga negara Indonesia dengan warga negara asing
Contoh perlindungan terhadap anak oleh Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 adalah pemberian status kewarganegaraan ganda terbatas kepada anak hasil perkawinan campuran sampai dengan batas usia 18 tahun dan setelah sampai batas usia tersebut, ia diwajibkan memilih salah satu kewarganegaraannya, apakah tetap mempertahankan kewarganegaraan Indonesianya ataukah memilih kewarganegaraan asingnya. Dalam peraturan perundang-undangan sebelumnya (Undang-undang Nomor 62 Tahun 1958), ketentuan semacam itu tidak diatur, karena status anak hasil perkawinan campuran ditentukan oleh garis keturunan ayahnya. Hal ini sesuai dengan asas yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958, yaitu asas ius sanguinis sebagai asas utama. Ketika seorang anak hasil dari perkawinan campuran itu menghendaki kewarganeraan Indonesia, Ia diharuskan melakukannya melalui proses naturalisasi setelah anak tersebut mencapai batas usia dewasa (21 tahun).

Problem Solving UU No. 12 tahun 2006, UU No.12 Tahun 2006 di atas, dalam pandangan Wicipto Setiadi, merupakan undang-undang kewarganegaraan bergenre problem solving di tengah-tengah menumpuknya sejumlah problem yang terkait dengan kewarganegaraan. Dari sejumlah problem tersebut, dalam pandangan Wicipto Setiadi, ada lima problem yang paling krusial, yaitu :
1.      Terkait dengan problem etnisitas sebagaimana terkandung dalam UUD Negara RI Tahun 1945 yang menyatakan “bahwa yang menjadi Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang bangsa lain yang diakui kewarganegaraannya karena UU”. Frase “orang-orang bangsa Indonesia asli” Itu siapa yang menentukan? Apakah yang menentukan itu warna kulit, suku bangsa atau dari mana nenek moyangnya? Dulu orang menerjemahkan hal tersebut dikaitkan dengan pribumi dan non pribumi, sehingga bisa saja orang India dianggap tidak asli walaupun warga negara Indonesia. Orang sejak lahir. Karena itulah UU ini mencari solusinya. Kewarganegaraan seseorang tidak boleh dipisah-pisahkan berdasarkan latar belakang primordial yang semacam itu. Untuk itu, solusinya adalah bahwa jika bicara tentang warga negara Indonesia pendekatannya, perspektif, cara pandangnya harus satu yaitu cara pandang umum. Karena itulah maka UU ini menegaskan bahwa yang dimaksud dengan “orang bangsa Indonesia asli” adalah mereka yg sejak kelahirannya sudah menjadi warganegara Indonesia dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kemauannya sendiri.
2.      Terkait dengan problem yang lahir dari adanya transcouple (pasangan yang melintasi negara dan melintasi kebangsaan atau melintasi kewarganegaraan) banyak yang terjadi misalnya di Bali karena Bali adalah daerah yang sangat terbuka, daerah dimana masalah global berada terjadi pergaulan antar anggota masyarakat, gadis-gadis Indonesia bertemu dengan pria asing lalu jatuh cinta. Pertanyaannya sekarang adalah ketika transcouple kemudian memiliki keturunan dia berwarganegara apa? Undang-undang kewarganegaraan yang lama menganut asas atau prinsip ius sanguinis yaitu kewarganegaraan seseorang ditentukan berdasarkan keturunan atau darah. Akibatnya pelaksanaan undang-undang kewarganegaraan tersebut lebih bersifat kelelakian, sehingga anak-anak yang lahir dari transcouple tersebut tidak diakui eksistensinya. Untuk itu Undang-undang kewarganegaraan yang baru menawarkan penyelesaiannya. Penyelesaian problem tersebut dilakukan dengan cara lain yaitu setiap orang yang lahir dari ibu Indonesia, adalah asli menjadi warga negara Indonesia dan sekaligus memberikan status kepada anak yang bersangkutan karena undang-undang di negara asal bapaknya mengakui dia sebagai warganegara, maka anak tersebut mempunyai kewarganegaraan ganda terbatas. Jadi, sekali lagi prinsip dasarnya bahwa karena ibunya warga negara Indonesia maka anaknya adalah Warga Negara Indonesia sampai umur 18 tahun. Ketika anak tersebut mencapai umur 18 tahun diberi kesempatan untuk memilih dalam waktu 3 tahun tang bersangkutan mempunyai kesempatan untuk menimbang-nimbang apakah akan terus menjadi Warga Negara Indonesia atau akan melepaskan kewarganegaraan Indonesianya dan mengikuti kewarganegaraan bapaknya.
3.      Terkait dengan masalah yang secara faktual kita dapati dalam masyarakat yaitu adanya sekelompok komunitas yang hidup dan lahir di Indonesia. Mereka itu, menjadi tidak jelas kewarganegaraannya karena sistem hukum yang berlaku selama ini tidak memungkinkan mereka diberi status kewarganegaraan Indonesia. Untuk itu, undang-undang ini menyelesaikannya, mereka yang lahir di Indonesia dan tidak jelas kewarganegaraan kedua orangtuanya itu diakui sebagai Warga Negara Indonesia. Jadi dengan berlakunya UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan, kedepan tidak boleh ada lagi yang lahir dari kedua orang tua yang sudah lama tinggal di Indonesia, mereka lahir dan hidup secara turun temurun di Indonesia tapi tidak jelas kewarganegarannya, sehingga mereka terus mengalami kesulitan.
4.      Terkait dengan problem yang dialami warga negara kita yang ada di luar negeri karena masalah politik, misalnya pada tahun 60-an banyak warga negara kita yang sekolah di luar negeri tapi karena situasi politik orang-orang ini kesulitan pulang. Oleh karenanya mereka menjadi warga negara di tempat mereka tinggal, menjadi warganegara Belanda, warganegara Prancis, dan bahkan ada yang tidak mempunyai kewarganegaraan sama sekali. Terhadap problem seperti itu harus ada pemecahannya yaitu dengan memberi kemudahan jika mereka ingin kembali menjadi Warga Negara Indonesia perolehan kembali kewarganegaraan tersebut tentu saja melalui proses memperoleh kewarganegaraan tetapi tidak melalui proses naturalisasi sebagaiana orang asing yang ingin memperoleh kewarganegaran Indonesia.
5.      Terkait dengan problem pemberian perlindungan kepada warganegara baik di dalam maupun di luar negeri. Banyak warganegara Indonesia yang secara yuridis sering tidak memperoleh perlindungan sewajarnya ketika mereka berada di luar negeri bahkan juga di dalam negeri sekalipun mereka sering tidak memperoleh perlindungan hukum secara maksimal untuk itu, Undang-Undang ini mengatur asas perlindungan maksimal jika warga negara Indonesia ditangkap disuatu negara, apapun kesalahannya, termasuk kesalahan yang kita tidak suka misalnya dia menjadi teroris tetap dia juga harus dilindungi secara hukum, misalnya diberi pembelaan dan sebagainya, walaupun kita sama seklai tidak setuju perbuatannya sebagai teroris, ikut jaringan terorisme, atau ikut peyelundupan narkoba. Orang-orang tersebut jika mereka adalah warganegara Indonesia,maka kita wajib memberikan perlindungan maksisimum melalui jalur hukum.[16]
Asas dalam Undang-undang No.12 Tahun 2006, Terkait dengan beberapa problem diatas,dalam undang-undang No.12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan RI menurut Wicipto terdapat beberapa perubahan asas yang dianut oleh undang-undang sebelumnya.
3.   PENUTUP
         3.1     Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan :
Kewarganegaraan merupakan hal penting yang harus diketahui oleh setiap warga negara ini dikarenakan bahwa dengan pemahaman kewarganegaraan yang baik maka kehidupan berbangsa dan bernegara akan menjadi tentram dan jelas. dan Kita sebagai warga negara yang bertanggung jawab terhadap masyarakat bangsa dan negara hendaknya kita berusaha untuk meningkatkan pengalaman prinsip serta nilai-nilai luhur bangsa terutam memahami manusia yang pada dasarnya memiliki harkat dan martabat yang sama sebagai makhluk ciptaan Tuhan, agar tercipta suatu keadilan dalam kehidupan bernegara.  
         3.2     Saran
Akhirnya terselesaikannya makalah ini kami selaku pemakalah menyadari dalam penyusunan ini yang membahas tentang kewarganegaraan masih jauh dari kesempurnaan baik dari tata cara penulisan dan bahasa yang dipergunakan maupun dari segi penyajian materinya. Untuk itu kritik dan saran dari pembimbing atau dosen yang terlibat dalam penyusunan makalah ini yang bersifat kouteuktif dan bersifat komulatif sangat kami harapkan supaya dalam penugasan makalah yang akan datang lebih baik dan lebih sempurna.
DAFTAR PUSTAKA

Gatara,Asep Sahid dan Sofhain,Subhan, Pendidikan Kewarganegaraan  ( Bandung: Fokusmedia,2011), hlm.  41.
Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kerwarganegaraan (Civic Education), Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, Jakarta dan Prenada Media, 2003, hlm. 74.
Kansil,C.S.T, Hidup Berbangsa Dan Bernegara (Erlangga, 1993), hlm. 44
Nata,Soeparman, pendidikan pancasila dan kewarganegaraan (Bandung: Blitek koharmatau, 2006), hlm. 46.
G.J. Wolhoff, Pemgamtar Ilmu Hukum Tata Negara Indonesia, ip. Cit. Hal. 124; Guow Giok Siong. Prof.Mr.Dr. Hukum Perdata Internasional Indonesia, jilid ke-2(bagian I), Jakarta, Kinta, hal.17, juga dari pengarang yang sama , Warga Negara dan Orang Asing, Jakarta, Kengpo,1960, cet.II. h. 10.
Azra,Azyumardi, Demokrasi,Hak Asasi Manusia Masyarakat Madani( Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003) hlm. 74.
C.S.T. Kansil, ilmu Negara, Jakarta: Pradnya Paramita, 2004,hlm.25.
Musthafa Kamal Pasha,Pendidikan Kewarganegaraan (Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2002), hlm.24.
Prodjodikoro, Wirjono, Asas-Asas Ilmu Negara dan Politik, Bandung: Eresco,1971.
Azed,Abdul Bari, Intisari Kuliah Masalah Kewarganegaraan, Jakarta: Ind-Hill.Co.,1996,Cet.ke-1.
Guow Giok Siong, Warga Negara dan Orang Asing, op cit, hal.12 dst.nya
Kusnardi,Muhammad.,Ibrahim,Harmaili, Hukum Tata Negara Indonesiai,Jakarta Selatan:Budi Chaniago,1988,hlm.294.
Gouw Giok Siong, Hukum Perdata Internasional Indonesia,op.cit,hal.231,232.
Jamaludin, Asep, Pendidikan Kewarganegaraan Berbasis Nilai,Bogor; Ghalia Indonesia, 2010, hlm. 25
Rozak, Abdul; Sayuti, Wahdi, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi,Hak Azazi Manusia, Masyarakat Madani, Jakarta: Prenada Media, 2004 hal. 54
Gatara,Asep Sahid dan Sofhain,Subhan, Pendidikan Kewarganegaraan  ( Bandung: Fokusmedia,2011), hlm.  47-54.









[1] Gatara,Asep Sahid dan Sofhain,Subhan, Pendidikan Kewarganegaraan  ( Bandung: Fokusmedia,2011), hlm.  41.

[2] Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kerwarganegaraan (Civic Education), Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, Jakarta dan Prenada Media, 2003, hlm. 74.
[3] Kansil,C.S.T, Hidup Berbangsa Dan Bernegara (Erlangga, 1993), hlm. 44
[4] Nata,Soeparman, pendidikan pancasila dan kewarganegaraan (Bandung: Blitek koharmatau, 2006), hlm. 46.
[5] G.J. Wolhoff, Pemgamtar Ilmu Hukum Tata Negara Indonesia, ip. Cit. Hal. 124; Guow Giok Siong. Prof.Mr.Dr. Hukum Perdata Internasional Indonesia, jilid ke-2(bagian I), Jakarta, Kinta, hal.17, juga dari pengarang yang sama , Warga Negara dan Orang Asing, Jakarta, Kengpo,1960, cet.II. h. 10.
[6] Azra,Azyumardi, Demokrasi,Hak Asasi Manusia Masyarakat Madani( Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003) hlm. 74.
[7]  C.S.T. Kansil, ilmu Negara, Jakarta: Pradnya Paramita, 2004,hlm.25.
[8] Musthafa Kamal Pasha,Pendidikan Kewarganegaraan (Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2002), hlm.24.
[9] Prodjodikoro, Wirjono, Asas-Asas Ilmu Negara dan Politik, Bandung: Eresco,1971.
[10] Azed,Abdul Bari, Intisari Kuliah Masalah Kewarganegaraan, Jakarta: Ind-Hill.Co.,1996,Cet.ke-1.
[11] Guow Giok Siong, Warga Negara dan Orang Asing, op cit, hal.12 dst.nya
[12] Kusnardi,Muhammad.,Ibrahim,Harmaili, Hukum Tata Negara Indonesiai,Jakarta Selatan:Budi Chaniago,1988,hlm.294.
[13] Gouw Giok Siong, Hukum Perdata Internasional Indonesia,op.cit,hal.231,232.
[14] Jamaludin, Asep, Pendidikan Kewarganegaraan Berbasis Nilai,Bogor; Ghalia Indonesia, 2010, hlm. 25
[15] Rozak, Abdul; Sayuti, Wahdi, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi,Hak Azazi Manusia, Masyarakat Madani, Jakarta: Prenada Media, 2004 hal. 54
[16] Gatara,Asep Sahid dan Sofhain,Subhan, Pendidikan Kewarganegaraan  ( Bandung: Fokusmedia,2011), hlm.  47-54.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar