KEWARGANEGARAAN
Diajukan untuk
memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan
Dosen Ridwan Eko, S.H.I., M.H
Disusun oleh:
Kelompok 2 / Semester II / Kelas A
Fauziah
Khairunnisa NIM
1179210029
Fuzi
Kusuma Pertiwi NIM 1179210030
Hasni
Hasanah NIM
1179210035
Ichlasul
Amin NIM
1179210036
Ifa
Faidah NIM
1179210037
Fauzan
Mugni Alfazza NIM
1179210097
JURUSAN AKUNTANSI SYARIAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2018
KATA PENGANTAR
KATA PENGANTAR
Puji
syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena hanya atas rahmat dan
karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Kewarganegaraan” sebagai salah satu
syarat untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Pendidikan dan Kewarganegaraan.
Dengan
selesainya penulisan makalah ini penulis sangat berbahagia sebab hal ini
merupakan wujud nyata dari lamanya hasil diskusi kelompok dan memberi manfaat
yang besar dalam penulisan ilmiah bagi peneliti, juga berharap mudah-mudahan
dapat membantu semua pihak dalam memecahkan permasalahan yang terjadi di
lapangan, walaupun penulis sangat menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu segala masukan dan saran yang membangun demi
kesempurnaan makalah penulis menerima dengan senang hati.
Dalam
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebsar-besarnya kepda
semua pihak yang telah membantu terselesaikannya penulisan skripsi ini, baik
bantuan moril maupun materil kepada Ridwan Eko Prasetyo, S.H.I.,M.H. sebagai dosen pada mata kuliah ini.
Atas
segala bantuan dan bimbingannya, semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan
balasan yang setimpal atas segala amal dan kebaikan yang telah diberikan kepada
penulis.
Penulis,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................................ ii
ABSTRAK............................................................................................................................... iii
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang Masalah.............................................................................................. 1
1.2. Rumusan
Masalah........................................................................................................ 1
1.3. Tujuan
Penulisan.......................................................................................................... 1
1.4. Manfaat
Penulisan....................................................................................................... 2
1.5. Metode
Penulisan........................................................................................................ 2
2. PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Kewarganegaraan...................................................................................... 2
2.2. Azas-Azas
Kewarganegaraan...................................................................................... 3
2.2.1. Ius Sanguinis dan Ius Soli................................................................................. 3
2.2.2. Bipatride dan Apatride...................................................................................... 9
2.3. Cara Memperoleh Kewarganegaraan
Indonesia.......................................................... 12
2.4. Hak
dan kewajiban Warga Negara Indonesia............................................................. 15
2.5. Dinamika Undang-undang
Kewarganegaraan RI....................................................... 16
3. PENUTUP
3.1. Kesimpulan.................................................................................................................. 22
3.2. Kritik
dan Saran.......................................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................. 23
ABSTRAK
Kewarganegaraan
yakni anggota dari
sebuah komunitas yang membentuk negara itu sendiri dan memiliki kewajiban dan
hak yang harus dipenuhi.Dengan kajian studi pustaka tentang Bagaimana
mendapatkan kewarganegaraan di Indonesia dengan azas-azas Ius Soli dan Ius
Sanguinis untuk menangani dan menekan jumlah apatride (Tidak memiliki
kewarganegaraan) dan Bipatride (Dua kewarganegaraan) di Indonesia dengan adanya
Undang-Undang
No.62 tahun 1958.
Kata Kunci:
Azas, Ius Soli, Ius Sanguinis, apatride, bipatride
I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Sebagai warga
Negara dan masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai kedudukan, hak dan
kewajiban yang sama, Yang pokok adalah bahwa setiap orang haruslah terjamin
haknya untuk mendapatkan status kewarganegaraan, sehingga terhindar dari
kemungkinan menjadi ‘stateless’ atau tidak berkewarganegaraan. Tetapi pada saat
yang bersamaan, setiap negara tidak boleh membiarkan seseorang memilki dua
status kewarganegaraan sekaligus. Itulah sebabnya diperlukan perjanjian
kewarganegaraan antara negara-negara modern untuk menghindari status
dwi-kewarganegaraan tersebut. Indonesia sebagai negara yang pada dasarnya
menganut prinsip ‘ius sanguinis’, mengatur kemungkinan warganya untuk mendapatkan
status kewarganegaraan melalui prinsip kelahiran.
1.2
Rumusan masalah
Dari latar belakang
diatas disusun rumusan masalah sebagai berikut.
1.2.1 Pengertian
Kewarganegaraan
1.2.2 Asas-asas
Kewarganegaraan
1.2.3 Cara
Memperoleh Kewarganegaraan
1.2.4 Hak dan
kewajiban Warga Negara Indonesia
1.2.5 Dinamika
Undang-undang Kewarganegaraan RI
1.3 Tujuan penulisan
Adapun tujuan
yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah
1.3.1
Untuk memaparkan Pengertian Kewarganegaraan
1.3.2
Untuk menjelaskan Asas-asas Kewarganegaraan
1.3.3
Untuk memaparkan Cara Memperoleh Kewarganegaraan
1.3.4
Untuk menjelaskan Hak dan kewajiban Warga Negara Indonesia
1.3.5
Untuk memaparkan Dinamika Undang-undang Kewarganegaraan RI
1.4 Manfaat
penulisan
Adapun
manfaat dari penelitian ini adalah
1.4.1 Agar
pembaca dapat mengetahui tentang Kewarganegaraan.
1.4.2 Agar
pembaca dapat mengetahui Asas-asas Kewarganegaraan
1.4.3 Agar
pembaca dapat mengetahui Cara Memperoleh Kewarganegaraan
1.4.4 Agar
pembaca mengerti Hak dan Kewajiban WNI.
1.4.5 Agar
pembaca mengerti Dinamika Undang-undang Kewarganegaraan RI
1.5 Metode Penulisan
Adapun metode yang
digunakan dalam pembuatan makalah ini adalah dengan studi pustaka.
2. PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Kewarganegaraan
Secara bahasa kewarganegaraan
berarti hal yang berhubungan dengan warga negara, atau keanggotaan sebagai
warga negara. Sementara secara istilah kewarganegaraan berasal dari kata warga
negara. Disini warga negara banyak diartikan sebagai penduduk sebuah negara
atau bangsa bersdasarkan keturunan, tempat kelahiran, dan sebagainya yang
mempunyai kewajiban dan hak penuh sebagai warga dari negara itu. Selain itu
warga negara diartikan sebagai orang-orang yang merupakan bagian dari suatu
penduduk yang menjadi unsur negara. Istlah ini dahulu biasa disebut hamba atau
kaula negara.[1]
Senada dengan
definisi itu, AS Hikam sebagaimana dikutip Tim ICCE UIN Jakarta mengartikan
warga negara sebagai terjemahan dari citizenship,
yakni anggota dari sebuah komunitas yang membentuk negara itu sendiri.
Sedangkan secara singkat lagi Koerniatmanto S., mendefinisikan warga negara
dengan anggota negara, seorang warga negara mempunyai kedudukan yang khusus
terhadap negaranya. Ia mempunyai hubungan hak dan kewajiban yang bersifat imbal
balik terhadap negaranya.[2]
Untuk konteks
indonesia istilah warga negara dalam UUD1945 pasal 26 ditujukan pada seluruh
bangsa Indonesia asli dan bangsa lain yang disahkan undang-undang sebagai warga
negara. Ditambahkan lagi sesuai dengan UU No 62 tahun 1958 pasal 1 bahwa warga
negara Indonesia adalah orang-orang yang berdasarkan perundang-undangan
dan/atau perjanjian-perjanjian dan/atau peraturan-peraturan yang berlaku sejak
proklamasi 17 Agustus 1945 sudah menjadi warga nssegara Indonesia.[3]
2.2
Asas-asas Kewarganegaraan
2.2.1 Ius Sanguinis dan Ius
Soli
Sebagaimana dijelaskan di muka bahwa warga negara
merupakan aggota sebuah negara yang mempunai tanggung jawab dan hubungan timbal
balik terhadap negaranya. Seseorang yang diakui sebagai warga yang telah disepakati
dalam negara tersebut. Ketentuan itu menjadi asas atau pedoman untuk menentukan
status kewarganegaraan seseorang.
Dalam menetapkan asas kewarganegaraan ini dilihat
dari dua pedoman yakni: 1. Dari sisi kelahiran yang berisi dua asas
kewarganegaraan yaitu asas ius soli dan ius sanguinis.[4]
Kedua istilah tersebut berasal dari bahasa Latin ius berarti hukum,dalil
atau pedoman, soli berasal dari
kata solum yang berarti negeri, tanah atau darah dan sanguinis
berasal dari kata sanguis yang berarti darah. Dengan demukian, ius
soli perarti pedoman kewarganegaraan berdasarkan tempat atau daerah
kelahiran, sedangkan ius sanguinis adalah pedoman kewarganegaraan
berdasarkan darah atau keturunan.
Sebagai
contoh, jika sebuah negara menganut asas Ius
Soli maka seseorang yang dilahirkan di negara tersebut, mendapatkan hak
sebagai warga nenegara. Begitu pula dengan asas Ius Sanguinis. Jika sebuah negara menganut asas Ius Sanguinis, maka seseorang yang lahir
dari orang tua yang memiliki kewarganegaraan suatu negara, Indonesia misalnya,
maka anak tersebut berhak mendapatkan status kewarganegaraan orang tuanya,
yakni warga negara Indonesia.
Pada awalnya asas kewarganegaraan berdasarkan
kelahiran ini hanya satu, yakni ius soli
saja. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa karena seseorang lahir di suatu
wilayah negara, maka otomatis dan logis yang menjadi warga negara tersebut.
Akan tetapi dengan semakin Tingginya tingkat mobilitas manusia, diperlukan
suatu asas lain yang tidak hanya berpatokan pada tempat kelahiran saja. Selain itu, kebutuhan terhadap asas lain ini
juga berdasarkan realitas empirik bahwa ada orang tua yang memiliki status
kewarganegaraan yang berbeda. Hal ini akan bermasalah jika kemudian orang tua
tersebut melahirkan anak di tempat salah satu orang tuanya ( misalnya di tempat
ibunya). Jika tetap menganut asas ,
Maka si anak hanya akan mendapatkan status kewarganegaraan ibunya saja,
sementara ia tidak berhak atas status kewarganegaraan bapaknya. Atas dasar
itulah, maka asas Ius Sanguinis
dimunculkan, sehingga si anak dapat memiliki status kewarganegaraan bapaknya.[5]
Dari sisi perkawinan berisi asas kesatuan hukum dan asas
persamaan derajat. Selain hukum kewarganegaraan dilihat dari sudut
kelahiran, kewarganegaraan seseorang juga dapat dilihat dari sisi perkawinan
yang mencakup asas kesatuan hukum dan
asas persamaan derajat. Asas Kesatuan
Hukum berdasarkan pada paradigma bahwa suami-istri ataupun ikatan keluarga
merupakan inti masyarakat yang meniscayakan suasana sejahtera, sehat dan tidak terpecah.
Dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakatnya, suami-istri ataupun keluarga
yang baik perlu mencerminkan adanya suatu kesatuan yang bulat.
Untuk menghentikan terciptanya kesatuan dalam
keluarga atau suami-istri, maka semuanya harus tunduk pada hukum yang sama.
Dengan adanya kesamaan pemahaman dan komitmen menjalankan kebersamaan atas
dasar hukum yang sama tersebut, meniscayakan adanya kewarganegaraan yang sama,
sehingga masing-masing tidak terdapat perbedaan yang dapat mengganggu kebutuhan
dan kesejahteraan keluarga.
Sedangkan dalam asas
persamaan derajat ditentukan bahwa suatu perkawinan tidak menyebabkan
perubahan status kewarganegaraan masing-masing pihak. Baik suami ataupun istri
tetap berkewarganegaraan asal, atau
dengan kata lain sekalipun sudah menjadi suami istri, mereka tetap memiliki
status kewarganegaraan sendiri, Sama halnya ketika mereka belum diikatkan
menjadi suami istri.
Asas ini dapat menghindari terjadinya penyelundupan
hukum. Misalnya, Seseorang yang berkewarganegaraan asing ingin memperoleh
status kewarganegaraan suatu negara dengan cara atau pura-pura melakukan
pernikahan dengan perempuan di negara tersebut. Setelah melalui perkawinan dan
orang tersebut memperoleh kewarganegaraan yang diinginkannya, maka selanjutnya
ia menceraikan istrinya. Untuk menghindari penyelundupan hukum semacam ini,
banyak negara yang menggunakan asas persamaan derajat dalam peraturan
kewarganegaraannya.[6]
Selain hal di atas, negara ini kita juga mengenal
istilah “empat status warga negara”, yakni (1)
Status positif : warga negara yang memperoleh fasilitas dan jaminan untuk
mendapatkan kemakmuran dari negara;(2) Status
negatif : negara tidak akan mencampuri hak asasi rakyatnya bila tidak
perlu; (3) status aktif : warga
negara ikut dalam pemerintahan negara; dan (4) Status pasif :
tundukketentuan ketentuan negara.[7]
Sudah menjadi pendapat umum, bahwa untuk berdirinya
suatu negara yang merdeka harus dipenuhi beberapa syarat, yaitu harus ada
wilayah tertentu, ada rakyat yang tetap dan pemerintahan yang berdaulat. Ketiga
syarat ini merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Tanpa adanya
wilayah tertentu adalah tidak mungkin untuk mendirikan suatu negara dan begitu
pula adalah mustahil untuk menyebutkan adanya suatu negara tanpa rakyat yang tetap.
Walaupun kedua syariat ini wilayah dan rakyat telah dipenuhi, namun apabila
pemerintahannya bukan pemerintahan yang berdaulat yang bersifat nasional,
belumlah dapat dinamakan negara itu negara yang merdeka. Hindia Belanda dan
rakyat – tetapi karena pemerintahan Hindia Belanda adalah pemerintahan jajahan
yang tunduk kepada Pemerintahan di Negeri Belanda, maka Hindia Belanda bukanlah
negara yang merdeka
Rakyat yang menetap di suatu wilayah tertentu, dalam
hubungannya dengan negara disebut warga negara. Warga negara itu mempunyai
kewajiban-kewajiban terhadap Negara, dan sekaligus juga mempunyai hak-hak yang
wajib diberikan dan dilindungi oleh negara
Kareana hubungannya dengan dunia Internasional, maka
dalam setiap wilayah negara selalu ada warga negara dan orang asing, yang
kesemuanya disebut penduduk. Jadi setiap warga negara adalah penduduk adalah
warga negara, karena mungkin dia adalah orang asing. Kalau demikian maka
penduduk suatu negara dapat dibagi dua yaitu warga negara dan orang asing.
Keduanya berbeda dalam hubungannya dengan negara. Setiap warga negara mempunyai
hubungan yang tidak terputus, walaupun warga negara yang bersangkutan telah
berdomisili di luar negri, selama dia tidak memutuskan kewarganegaraanya.
Sebaliknya seorang asing hanya mempunyai hubungan selaam dia bertempat tinggal
di wilayah negara tersebut. Karena itu adalah menjadi kewajiban dari Negara
untuk melindungi kepentingan setiap penduduk di negaranya.
Undang-undang Dasar 1945 sendiri ada kalanya
memberikan perlindungan kepada penduduk Negara Republik Indonesia tanpa melihat
apakah dia warga negara atau orang asing. Umpamanya dalam pasal 29 ayat (2)
disebutkan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masng-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu.” Ini berarti bahwa negara akan memberikan perlindungan dalam masalah agama
terhadap setiap orang yang ada di wilayah Negara Republik Indonesia denga tidak
melihat apakah dia warga negara atau orang asing. Di bagian lain Undang-Undang
Dasar 1945 hanya menyebutkan hak khusus untuk warga negara, yaitu pasal 27 ayat
(2) yang menyebutkan “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Ini berarti bahwa setiap warga
negaralah yang berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan tidak untuk
orang asing hak mana kemudian dapat dituntut oleh warga negara.
Di muka telah di jelaskan, bahwa tanpa adanya warga
negara adalah tidak mungin mendirikan suatu negara. Dan karena itu adalah
negara yang berdaulat, maka setiap negara berhak untuk menentukan sendiri
syarat-syarat untuk menjadi warga negara. Namun demikian dalam ilmu pengetahuan
terdapat dua azas yang utama, yaitu azas ius soli dan azas ius sangiunis.[8]
Yang dimaksud dengan ius soli (azas daerah kelahiran)
ialah, bahwa kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh tempat kelahirannya.
Seseorang adalah warga negara dari Negara B, karena dia dilahirkan di negara B
tersebut. Dan azas sanguinis (azas keturunan) menentukan, bahwa kewarganegaraan
seseorang ditentukan olhe keturunan dari orang yang bersangkutan. Seseorang
adalah warga negara A, karena orang tuanya adalah warga negara A.
Pada saaat sekarang di mana hubungan antar negara
telah semakin baik, dan sarana pengangkutan sudah sedemikian modernnya sehingga
tidak menyulitkan orang untuk bepergian, maka dapat saja terjadi bahwa
seseorang akan dapat berdomisili di negara lain. Kadang kala orang tersebut
melahirakan anak di negara tempat dia berdomisili. Dan kalau azas ius soli yang
dipakai, maka akibatnya anak tersebut menjadi warga negara dari negara
tersbeut, dan dengan demikian putuslah hubungannya dengan negara asal orang
tuanya. Karena alasan-alasan ini maka pada umumnya negara-negara sekarang telah
meninggalkan azus ius soli dan menganut azas sanguinis. [9]
Penganutan azas ius sanguini ini akan terasa sekali
manfaatnya bagi negara-negara yang terletak berdampingan dengan negara lain
yang tidak dibatasi oleh laut seperti neraga Eropah Kontinental, dimana setiap
orang dengan mudah berpindah tempat tinggal. Dan dengan azas sanguinis ini
anak-anak yang dlahirkan di negara lain akan tetap menajdi warga negara dari
negara asal orang tuanya, dan akibbatnya tidak akan terputus hubungan antara
negara dan warga negaranya yang baru lahir selama orang tuanya masih tetap menganut
kewarganegaraan dari negara asalnya. Sebaliknya bagi negara-negara tertentu,
terutama negara-negara imigrasi seperti Amerika Serikat, Australia, Canada, untuk tahap pertama akan lebih
menguntungkan apabila menganut azas ius soli, sebab akan lahirnya anak-anak
dari para imigran di negara-negara tersbeut akan menjadi putuslah hubungannya
dengan negara asal orang tuanya.[10]
2.2.2 Bipatride dan Apatride
Di muka telah
dijelaskan bahwa setiap negara berhak untuk menentukan azas mana yang dipakai
dalam menentukan siapakah yang termasuk warganegaranya, maka akan timbul
peraturan-peraturan di bidang kewarganegaraan yang tidak sama. Dan menurut
istilah dari Prof. Gouw Giok Siong seolah-olah terjadi "pertentangan"[11] sebab kemungkinan terjadi bahwa negara A
menganut asas ius soli sedangkan negara B yang menganut azas ius sanguinis,
atau sebaliknya. Hal tersebut akan menimbulkan bipatride (dwi kewarganegaraan)
atau apatride (tanpa kewarnegaraan) apabila terjadi pengimigrasian timbul
apabila menurut peraturan peraturan tentang kewarganegaraan dari berbagai
negara seseorang dianggap sebagai warga negara oleh negara-negara yang
bersangkutan.[12]
Umpamanya A dan B adalah suami istri yang berkewarganegaraan X dan menganut
asas Ius Soli. Kemudian lahirlah C menganut negara C. C adalah negaranya, sebab
orang tuanya A dan B adalah warga negara X. Menurut negara Z. C adalah warga negaranya, sebab C lahir di
wilayahnya. Dengan demikian C mempunyai
2 kewarganegaraan atau bipatride (dwi kewarganegaraan). Sebaliknya apatride
(tanpa kewarganegaraan) timbul karena menurut peraturan peraturan tentang
kewarganegaraan, seseorang tidak dianggap sebagai warga Negara. Keadaan ini
dapat dijelaskan dengan contoh sebagai berikut : A dan B suami istri adalah
warga negara X yang menganut asas Ius Soli.
A dan B berdomisili di Z yang menganut azas ius sangunis. Tidak lama kemudian A dan B melahirkan anak
C. Menurut negara X. C bukanlah warga negaranya sebab orang tuanya
C bukan berkewarganegaraan Z. Akibatnya C tidak mempunyai kewarganegaraan atau
apatride.
Baik bipatride
maupun apatride adalah keadaan yang tidak disenangi oleh negara Di mana orang
tersebut berada, bahkan bagi yang bersangkutan. Keadaan bipatride membawa
ketidakpastian dalam status seseorang, sehingga dapat saja merugikan negara
tertentu. Sebaliknya keadaan apatride membawa akibat bahwa orang tersebut tidak
akan mendapat perlindungan dari negara manapun juga. Kedua-duanya pernah
dialami oleh Republik Indonesia. Sebelum sebelum ditandatanganinya perjanjian
antara Soenarto Chow akan dibahas di bagian lain, maka sebagian dari
orang-orang Cina yang berdomisili di Indonesia menurut peraturan kewarganegaraan
dari Republik Rakyat Cina yang berasaskan Ius Sanguinis, tetap dianggap sebagai
warga negara Republik Rakyat Cina, sebaliknya menurut undang-undang
kewarganegaraan Indonesia. Pada waktu itu orang Cina tersebut sudah dianggap
menjadi warga negara Indonesia dengan demikian terjadilah bipatride terhadap
orang Cina yang bersangkutan. Sebaliknya ada pula sebagian orang Cina yang
dianggap Pro Koumintang, oleh Republik Rakyat Cina yang tidak diakui sebagai
warga negaranya, sedangkan Taiwan yang dianggap negara asalnya tidak mempunyai
hubungan diplomatik dengan Indonesia, maka mereka juga tidak diakui sebagai
warga negara Taiwan. Mereka ini setidak-tidaknya merupakan "defacto
apatride". [13]
Baik bipatride
maupun apatride tersebut harus dihindarkan dan caranya ialah dengan menutup
kemungkinan terjadinya bipatride dan apatride dalam undang-undang tentang
kewarganegaraan. Umpamanya untuk mencegah bipatride undang-undang No. 62 tahun
1958 pasal 7 menentukan bahwa seorang perempuan asing yang kawin dengan
laki-laki warga negara Indonesia dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia
dengan melakukan pernyataan, dengan syarat bahwa dia harus meninggalkan
kewarganegaraannya asalnya. Demikian
pula untuk mencegah kemungkinan terjadinya apatride. Undang-undang tersebut
dalam pasal 1 huruf f menentukan, bahwa anak yang lahir di wilayah Republik
Indonesia selama kedua orang tuanya tidak diketahui, adalah warga negara
Indonesia. seandainya tidak ada ketentuan ini, maka akibatnya anak tersebut
kelak akan menjadi apatride sebab tidak diketahui orang tuanya dan untuk
menentukan kewarganegaraannya adalah sulit. Dengan dua orang contoh di muka
jelaslah bahwa setiap undang-undang tentang kewarganegaraan dapat mencegah
timbulnya keadaan bipatride dan apatride.
Persoalannya
sekarang bagaimana kalau bipatride telah terjadi sementara undang-undang yang
berlaku pada waktu itu tidak dapat memecahkan. Keadaan ini pernah terjadi di
Republik Indonesia sebelum tahun 1955, dimana pada waktu itu orang-orang Cina
karena peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat itu dapat dianggap
sebagai warga negara Republik Indonesia, sedangkan dalam keadaan yang bersamaan
Republik Rakyat Cina tetap pula beranggapan bahwa orang-orang Cina tersebut
adalah warga negaranya. Pemecahan masalah ini adalah tidak bisa lain daripada
dengan membuka kemungkinan perundingan antara negara yang bersangkutan.
Demikianlah pada tanggal 22 April 1955 telah ditandatangani masing-masing oleh
menteri luar negeri Republik Indonesia dan Republik Rakyat Cina yang terkenal
dengan perjanjian soenario-Chou, yang kemungkinan diundangkan dengan
undang-undang No. 2 tahun 1958. Dalam perjanjian itu ditentukan bahwa kepada
semua orang Cina yang ada di Indonesia harus mengadakan pilihan dengan tegas
dan secara tertulis, apakah akan menjadi warga negara Republik Indonesia atau
tetap berkewarganegaraan Republik Rakyat Cina. Dengan demikian terpecah lah
masalah Dwi kewarganegaraan ini.
2.3
Cara Memperoleh Kewarganegaraan Indonesia
Di Indonesia
proses mendapatkan status warga negara dijelaskan dalam Undang-Undang No.62
tahun 1958. Ada penjelasan umum dari UU ini disebutkan bahwa ada 7 (tujuh) cara
memperoleh kewarganegaraan Indonesia: (1) karena kelahiran, (2) karena
pengangkatan, (3) karena dikabulkannya permohonan, (4) karena pewarganegaraan,
(5) karena perkawinan, (6) karena turut Ayah atau Ibu serta, (7) karena
pernyataan.
Sementara itu
bukti-bukti yang diperlukan untuk memperoleh kewarganegaraan Indonesia adalah
(Berdasarkan UU No. 62 tahun 1958):
1. Surat
bukti kewarganegaraan untuk mereka yang memperoleh kewarganegaraan Indonesia
karena kelahiran adalah dengan akte kelahiran.
2. Surat
bukti kewarganegaraan untuk mereka yang memperoleh kewarganegaraan Indonesia
karena pengangkatan adalah kutipan pernyataannya buku catatan angkatan anak
asing dari pencatatan Pemerintah No. 67/1958, sesuai dengan syarat edaran
Menteri Kehakiman No. BJ 3/2/25,butir6, tanggal 5 Januari 1959.
3. Surat
bukti kewarganegaraan untuk mereka yang memperoleh kewarganegaraan Indonesia
karena dikabulkannya permohonan adalah berisikan Keputusan Presiden tentang
permohonan tersebut (tanpa pengucapan sumpah janji setia).
4. Surat
bukti kewarganegaraan untuk mereka yang memperoleh kewarganegaraan Indonesia
karena pewarganegaraan adalah berisikan keputusan Presiden tentang
pewarganegaraan tersebut yang diberikan setelah pemohon mengangkat sumpah dan
janji setia tentang.
5. Surat
bukti kewarganegaraan untuk mereka yang memperoleh kewarganegaraan Indonesia
karena pernyataan adalah sebagaimana diatur dalam surat edaran Menteri
Kehakiman No.BJ 3/166/33, tanggal 30 September 1958 tentang Memperoleh/
Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia dengan pernyataan.
Bila menyimak uraian di atas, dapat dirumuskan bahwa
umumnya ada dua kelompok warga negara dalam suatu negara, yakni warga negara
yang memperoleh status kewarganegaraannya melalui stelsel aktif atau dikenal
dengan by registration.
Dalam undang-undang No 12 tahun 2006, untuk
memperoleh warga negara melalui proses pewarganegaraan atau naturalisasi, dapat
ditempuh melalui syarat-syarat sebagai berikut.
a. Telah
berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin;
b. Pada
waktu mengajukan permohonan sudah bertempat tinggal di wilayah negara Republik
Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut atau paling singkat 10
(sepuluh) tahun tidak berturut-turut;
c. Sehat
jasmani dan rohani;
d. Dapat
berbicara Indonesia serta mengakui dasar negara Pancasila dan UUD 1945;
e. Tidak
pernah dijatuhi pidana Karena melakukan tindakan pidana yang diancam dengan
pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih;
f. Jika
dengan memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia tidak menjadi
kewarganegaraan ganda;
g. Mempunyai
pekerjaan dan/atau berpenghasilan tetap; dan
h. Membayar
uang pewarganegaraan ke Kas Negara;
i.
Permohonan kewarganegaraan diajukan di
Indonesia oleh permohonan secara tertulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas
bermaterai cukup kepada Presiden melalui menteri;
j.
Berkas permohonan kewarganegaraan
disampaikan kepada pejabat.[14]
2.4 Hak
dan kewajiban Warga Negara Indonesia
Setelah
seseorang memperoleh kewarganegaraan suatu negara otomatis orang tersebut
menjadi warga negara. Ketika menjadi warga negara yang merupakan anggota negara
yang mempunyai kedudukan khusus terhadap negaranya. Ia mempunyai hubungan hak
dan kewajiban yang bersifat timbal balik terhadap negaranya. Oleh karena disini
akan digambarkan tentang kedua nya itu.
Di Indonesia hak
warga negara terhadap negaranya telah diatur dalam undang-undang 1945 dan
berbagai pengaturan lainnya yang merupakan derivasi dari hak-hak umum yang
digariskan dalam undang-undang 1945. Di antara hak-hak warga negara itu adalah
hak asasi manusia yang dirumuskan lengkapnya dimuat dalam pasal 28 undang-undang
1945. Amandemen kedua :
1.
Hak kebebasan beragama dan beribadah
sesuai dengan kepercayaannya.
2.
Bebas untuk berserikat dan berkumpul.
3.
Hak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil.
4.
Hak untuk bekerja serta mendapatkan
imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
5.
Hak memperoleh kesempatan yang sama
dalam pemerintahan.
6.
Hak atas status kewarganegaraan.
Sedangkan
masalah kewajiban bagi setiap warga negara misalnya adalah:
1.
Membayar pajak sebagian kontrak utama
antara negara dengan warga.
2.
Membela tanah air.
3.
Membela pertahanan dan keamanan negara.
4.
Menghormati hak asasi orang lain dan
mematuhi pembatasan yang tertuang dalam peraturan.
2.5
Dinamika Undang-undang
Kewarganegaraan RI
Pada tanggal 1
Agustus 2006, Undang-undang Nomor 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan
Republik Indonesia telah ditetapkan secara bersama-sama oleh Pemerintahan dan
DPR RI. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006, maka Undang-Undang
Nomor 62 Tahun 1958 tentang kewarganegaraan RI sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang nomor 3 Tahun 1976 tentang perubahan pasal 18 Undang-Undang nomor
62 tahun 1958 tentang kewarganegaraan RI dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Selain itu, semua peraturan perundang-undangan sebelumnya yang mengatur
mengenai kewarganegaraan, dinyatakan tidak berlaku karena tidak sesuai dengan
prinsip yang diamanatkan dalam UUD Negara RI Tahun 1945.
Pernyataan tidak
berlakunya undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang lahir sebelum
berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006, Wicipto Setiadi (Direktur
Harmonisasi Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum
dan HAM RI), dalam sebuah kesempatan mengatakan bahwa hal itu demi adanya
kepastian hukum agar para pelaksana dan pihak yang berkepentingan tidak lagi
mengacu pada peraturan perundang-undangan lama. Dengan demikian tidak ada
keraguan-keraguan dalam menerapkan hukum di bidang kewarganegaraan.
Bila menyimak
konsideran dari Undang-Undag Nomor 12 Tahun 2006, seridaknya ada tiga alasn
mendasar terbitnya unadng-undang tersebut dengan sekaligus mencabut
undang-undang Nomor 62 Tahun 1958, yaitu;
1.
Secara filosois, Undang-Undang Nomor 62
Tahun 1958 masih mengandung ketentuan yang tidak sejalan dengan falsafah
Pancasila, antara lain, karena bersifat diskriminatif, kurang menjamin
pemenuhan hak asasi dan persamaan antarwarga negara, serta kurang memberikan
perlindungan terhadap perempuan dan anak-anak.[15]
2.
Secara yuridis, landasan konstitusional
pembentukan Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 adalah Undang-Undang Dasar
Sementara Tahun 1950 yang sudah tidak berlaku sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959
yang menyatakan kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945. Dalam perkembangannya,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga telah mengalami
perubahan yang lebih menjamin perlindungan terhadap hak asasi manusia dan hak
warga negara.
3.
Secara sosiologis, Undang-Undang Nomor
62 Tahun 1958 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan tuntutan
masyarakat Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional dalam
pergaulan global, yang menghendaki adanya persamaan perlakuan dan kedudukan
warga negara di hadapan hukum serta adanya kesetaraan dan keadilan gender.
Secara
substansi, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 ini banyak dipandang oleh berbagai
kalangan jauh lebih renponsif dan demokratis dari pada Undang-Undang tersebut
telah mengakomodasi berbagai pemikiran yang mengarah pada pemberian
perlindungan warga negaranya dengan memperhatikan kesetaraan gender, tapi yang
tidak kalah penting adalah pemberian perlindungan terhadap anak-anak hasil
perkawinan campuran antara warga negara Indonesia dengan warga negara asing
Contoh
perlindungan terhadap anak oleh Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 adalah
pemberian status kewarganegaraan ganda terbatas kepada anak hasil perkawinan
campuran sampai dengan batas usia 18 tahun dan setelah sampai batas usia
tersebut, ia diwajibkan memilih salah satu kewarganegaraannya, apakah tetap
mempertahankan kewarganegaraan Indonesianya ataukah memilih kewarganegaraan asingnya.
Dalam peraturan perundang-undangan sebelumnya (Undang-undang Nomor 62 Tahun
1958), ketentuan semacam itu tidak diatur, karena status anak hasil perkawinan
campuran ditentukan oleh garis keturunan ayahnya. Hal ini sesuai dengan asas
yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958, yaitu asas ius sanguinis
sebagai asas utama. Ketika seorang anak hasil dari perkawinan campuran itu
menghendaki kewarganeraan Indonesia, Ia diharuskan melakukannya melalui proses
naturalisasi setelah anak tersebut mencapai batas usia dewasa (21 tahun).
Problem
Solving UU No. 12 tahun 2006, UU No.12 Tahun 2006 di
atas, dalam pandangan Wicipto Setiadi, merupakan undang-undang kewarganegaraan
bergenre problem solving di tengah-tengah menumpuknya sejumlah
problem yang terkait dengan kewarganegaraan. Dari sejumlah problem tersebut,
dalam pandangan Wicipto Setiadi, ada lima problem yang paling krusial, yaitu :
1.
Terkait dengan problem etnisitas
sebagaimana terkandung dalam UUD Negara RI Tahun 1945 yang menyatakan “bahwa
yang menjadi Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli
dan orang bangsa lain yang diakui kewarganegaraannya karena UU”. Frase
“orang-orang bangsa Indonesia asli” Itu siapa yang menentukan? Apakah yang
menentukan itu warna kulit, suku bangsa atau dari mana nenek moyangnya? Dulu
orang menerjemahkan hal tersebut dikaitkan dengan pribumi dan non pribumi,
sehingga bisa saja orang India dianggap tidak asli walaupun warga negara
Indonesia. Orang sejak lahir. Karena itulah UU ini mencari solusinya.
Kewarganegaraan seseorang tidak boleh dipisah-pisahkan berdasarkan latar
belakang primordial yang semacam itu. Untuk itu, solusinya adalah bahwa jika
bicara tentang warga negara Indonesia pendekatannya, perspektif, cara
pandangnya harus satu yaitu cara pandang umum. Karena itulah maka UU ini
menegaskan bahwa yang dimaksud dengan “orang bangsa Indonesia asli” adalah
mereka yg sejak kelahirannya sudah menjadi warganegara Indonesia dan tidak
pernah menerima kewarganegaraan lain karena kemauannya sendiri.
2.
Terkait dengan problem yang lahir dari
adanya transcouple (pasangan yang melintasi negara dan melintasi
kebangsaan atau melintasi kewarganegaraan) banyak yang terjadi misalnya di Bali
karena Bali adalah daerah yang sangat terbuka, daerah dimana masalah global
berada terjadi pergaulan antar anggota masyarakat, gadis-gadis Indonesia
bertemu dengan pria asing lalu jatuh cinta. Pertanyaannya sekarang adalah
ketika transcouple kemudian memiliki keturunan dia berwarganegara apa?
Undang-undang kewarganegaraan yang lama menganut asas atau prinsip ius
sanguinis yaitu kewarganegaraan seseorang ditentukan berdasarkan keturunan atau
darah. Akibatnya pelaksanaan undang-undang kewarganegaraan tersebut lebih
bersifat kelelakian, sehingga anak-anak yang lahir dari transcouple tersebut
tidak diakui eksistensinya. Untuk itu Undang-undang kewarganegaraan yang baru
menawarkan penyelesaiannya. Penyelesaian problem tersebut dilakukan dengan cara
lain yaitu setiap orang yang lahir dari ibu Indonesia, adalah asli menjadi
warga negara Indonesia dan sekaligus memberikan status kepada anak yang
bersangkutan karena undang-undang di negara asal bapaknya mengakui dia sebagai
warganegara, maka anak tersebut mempunyai kewarganegaraan ganda terbatas. Jadi,
sekali lagi prinsip dasarnya bahwa karena ibunya warga negara Indonesia maka
anaknya adalah Warga Negara Indonesia sampai umur 18 tahun. Ketika anak
tersebut mencapai umur 18 tahun diberi kesempatan untuk memilih dalam waktu 3
tahun tang bersangkutan mempunyai kesempatan untuk menimbang-nimbang apakah
akan terus menjadi Warga Negara Indonesia atau akan melepaskan kewarganegaraan
Indonesianya dan mengikuti kewarganegaraan bapaknya.
3.
Terkait dengan masalah yang secara
faktual kita dapati dalam masyarakat yaitu adanya sekelompok komunitas yang
hidup dan lahir di Indonesia. Mereka itu, menjadi tidak jelas
kewarganegaraannya karena sistem hukum yang berlaku selama ini tidak
memungkinkan mereka diberi status kewarganegaraan Indonesia. Untuk itu, undang-undang
ini menyelesaikannya, mereka yang lahir di Indonesia dan tidak jelas
kewarganegaraan kedua orangtuanya itu diakui sebagai Warga Negara Indonesia.
Jadi dengan berlakunya UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan, kedepan
tidak boleh ada lagi yang lahir dari kedua orang tua yang sudah lama tinggal di
Indonesia, mereka lahir dan hidup secara turun temurun di Indonesia tapi tidak
jelas kewarganegarannya, sehingga mereka terus mengalami kesulitan.
4.
Terkait dengan problem yang dialami
warga negara kita yang ada di luar negeri karena masalah politik, misalnya pada
tahun 60-an banyak warga negara kita yang sekolah di luar negeri tapi karena
situasi politik orang-orang ini kesulitan pulang. Oleh karenanya mereka menjadi
warga negara di tempat mereka tinggal, menjadi warganegara Belanda, warganegara
Prancis, dan bahkan ada yang tidak mempunyai kewarganegaraan sama sekali.
Terhadap problem seperti itu harus ada pemecahannya yaitu dengan memberi
kemudahan jika mereka ingin kembali menjadi Warga Negara Indonesia perolehan
kembali kewarganegaraan tersebut tentu saja melalui proses memperoleh
kewarganegaraan tetapi tidak melalui proses naturalisasi sebagaiana orang asing
yang ingin memperoleh kewarganegaran Indonesia.
5.
Terkait dengan problem pemberian
perlindungan kepada warganegara baik di dalam maupun di luar negeri. Banyak
warganegara Indonesia yang secara yuridis sering tidak memperoleh perlindungan
sewajarnya ketika mereka berada di luar negeri bahkan juga di dalam negeri
sekalipun mereka sering tidak memperoleh perlindungan hukum secara maksimal
untuk itu, Undang-Undang ini mengatur asas perlindungan maksimal jika warga
negara Indonesia ditangkap disuatu negara, apapun kesalahannya, termasuk
kesalahan yang kita tidak suka misalnya dia menjadi teroris tetap dia juga
harus dilindungi secara hukum, misalnya diberi pembelaan dan sebagainya,
walaupun kita sama seklai tidak setuju perbuatannya sebagai teroris, ikut
jaringan terorisme, atau ikut peyelundupan narkoba. Orang-orang tersebut jika
mereka adalah warganegara Indonesia,maka kita wajib memberikan perlindungan
maksisimum melalui jalur hukum.[16]
Asas dalam
Undang-undang No.12 Tahun 2006, Terkait dengan
beberapa problem diatas,dalam undang-undang No.12 Tahun 2006 tentang
kewarganegaraan RI menurut Wicipto terdapat beberapa perubahan asas yang dianut
oleh undang-undang sebelumnya.
3.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan
hasil analisis yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan :
Kewarganegaraan
merupakan hal penting yang harus diketahui oleh setiap warga negara ini dikarenakan
bahwa dengan pemahaman kewarganegaraan yang baik maka kehidupan berbangsa dan
bernegara akan menjadi tentram dan jelas. dan Kita sebagai warga negara yang
bertanggung jawab terhadap masyarakat bangsa dan negara hendaknya kita berusaha
untuk meningkatkan pengalaman prinsip serta nilai-nilai luhur bangsa terutam
memahami manusia yang pada dasarnya memiliki harkat dan martabat yang sama
sebagai makhluk ciptaan Tuhan, agar tercipta suatu keadilan dalam kehidupan
bernegara.
3.2 Saran
Akhirnya
terselesaikannya makalah ini kami selaku pemakalah menyadari dalam penyusunan
ini yang membahas tentang kewarganegaraan masih jauh dari kesempurnaan baik
dari tata cara penulisan dan bahasa yang dipergunakan maupun dari segi
penyajian materinya. Untuk itu kritik dan saran dari pembimbing atau dosen yang
terlibat dalam penyusunan makalah ini yang bersifat kouteuktif dan bersifat
komulatif sangat kami harapkan supaya dalam penugasan makalah yang akan datang
lebih baik dan lebih sempurna.
DAFTAR
PUSTAKA
Gatara,Asep
Sahid dan Sofhain,Subhan, Pendidikan
Kewarganegaraan ( Bandung:
Fokusmedia,2011), hlm. 41.
Tim
ICCE UIN Jakarta, Pendidikan
Kerwarganegaraan (Civic Education), Demokrasi,
HAM dan Masyarakat Madani, Jakarta dan Prenada Media, 2003, hlm. 74.
Kansil,C.S.T, Hidup Berbangsa Dan Bernegara (Erlangga,
1993), hlm. 44
Nata,Soeparman, pendidikan pancasila dan
kewarganegaraan (Bandung: Blitek koharmatau, 2006), hlm. 46.
G.J. Wolhoff, Pemgamtar Ilmu Hukum Tata Negara
Indonesia, ip. Cit. Hal. 124; Guow Giok Siong. Prof.Mr.Dr. Hukum Perdata
Internasional Indonesia, jilid ke-2(bagian I), Jakarta, Kinta, hal.17, juga
dari pengarang yang sama , Warga Negara dan Orang Asing, Jakarta, Kengpo,1960,
cet.II. h. 10.
Azra,Azyumardi, Demokrasi,Hak Asasi Manusia
Masyarakat Madani( Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003) hlm. 74.
C.S.T. Kansil, ilmu Negara, Jakarta: Pradnya
Paramita, 2004,hlm.25.
Musthafa Kamal Pasha,Pendidikan Kewarganegaraan (Yogyakarta:
Citra Karsa Mandiri, 2002), hlm.24.
Prodjodikoro, Wirjono, Asas-Asas Ilmu Negara dan
Politik, Bandung: Eresco,1971.
Azed,Abdul Bari, Intisari Kuliah Masalah
Kewarganegaraan, Jakarta: Ind-Hill.Co.,1996,Cet.ke-1.
Guow Giok Siong, Warga Negara dan Orang Asing, op
cit, hal.12 dst.nya
Kusnardi,Muhammad.,Ibrahim,Harmaili, Hukum Tata
Negara Indonesiai,Jakarta Selatan:Budi Chaniago,1988,hlm.294.
Gouw Giok Siong, Hukum Perdata Internasional
Indonesia,op.cit,hal.231,232.
Jamaludin, Asep, Pendidikan Kewarganegaraan
Berbasis Nilai,Bogor; Ghalia Indonesia, 2010, hlm. 25
Rozak, Abdul; Sayuti, Wahdi, Pendidikan
Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi,Hak Azazi Manusia, Masyarakat
Madani, Jakarta: Prenada Media, 2004 hal. 54
Gatara,Asep
Sahid dan Sofhain,Subhan, Pendidikan
Kewarganegaraan ( Bandung:
Fokusmedia,2011), hlm. 47-54.
[1] Gatara,Asep Sahid dan Sofhain,Subhan, Pendidikan Kewarganegaraan (
Bandung: Fokusmedia,2011), hlm. 41.
[2] Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan
Kerwarganegaraan (Civic Education), Demokrasi,
HAM dan Masyarakat Madani, Jakarta dan Prenada Media, 2003, hlm. 74.
[4] Nata,Soeparman, pendidikan pancasila dan
kewarganegaraan (Bandung: Blitek koharmatau, 2006), hlm. 46.
[5]
G.J. Wolhoff, Pemgamtar Ilmu Hukum Tata
Negara Indonesia, ip. Cit. Hal. 124; Guow Giok Siong. Prof.Mr.Dr. Hukum
Perdata Internasional Indonesia, jilid ke-2(bagian I), Jakarta, Kinta, hal.17,
juga dari pengarang yang sama , Warga Negara dan Orang Asing, Jakarta,
Kengpo,1960, cet.II. h. 10.
[6] Azra,Azyumardi, Demokrasi,Hak Asasi
Manusia Masyarakat Madani( Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003)
hlm. 74.
[8] Musthafa Kamal Pasha,Pendidikan
Kewarganegaraan (Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2002), hlm.24.
[11]
Guow Giok Siong, Warga Negara dan Orang
Asing, op cit, hal.12 dst.nya
[12] Kusnardi,Muhammad.,Ibrahim,Harmaili, Hukum
Tata Negara Indonesiai,Jakarta Selatan:Budi Chaniago,1988,hlm.294.
[14]
Jamaludin, Asep, Pendidikan
Kewarganegaraan Berbasis Nilai,Bogor; Ghalia Indonesia, 2010, hlm. 25
[15]
Rozak, Abdul; Sayuti, Wahdi, Pendidikan
Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi,Hak Azazi Manusia, Masyarakat
Madani, Jakarta: Prenada Media, 2004 hal. 54
[16]
Gatara,Asep Sahid dan Sofhain,Subhan, Pendidikan Kewarganegaraan (
Bandung: Fokusmedia,2011), hlm. 47-54.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar